
Oleh: Lamadi de Lamato, SE, MBA
Direktur Buton Action Network, USA
Jika Papua merdeka, orang Jawa pulang ke Jawa, orang Sumatera pulang ke Sumatera, orang Toraja pulang ke Toraja.
Saat menyebut orang Buton, pria Papua yang sedang mabuk itu menyebut kata-kata yang unik dan berbeda. Jika orang Papua merdeka, orang Buton harus pulang ke Skyline! Sebagaimana diketahui, Skyline adalah salah satu kampung orang Buton yang berada di Kota Jayapura, Papua.
Kata-kata pendek dari orang mabuk bahwa jika Papua merdeka, hanya orang Buton yang boleh tinggal di "Skyline" dan selebihnya atau semua warga pendatang harus pulang, sepintas unik tapi menarik untuk ditelaah.
Bagi orang Buton yang lahir dan tumbuh di Papua apalagi saya pernah menjadi orang Buton yang pernah duduk di level elit birokrasi Pemerintah Papua, juru bicara Gubernur, kalimat itu mungkin hanya anekdot apalagi keluar dari mulut orang mabuk.
Sudah pasti, orang akan menyebut bahasa orang mabuk sebagai ungkapan ngawur dan tidak kredibel. Kendati demikian, bahasa itu bisa jadi merupakan petunjuk tentang fenomena politik sekaligus relasi orang asli Papua dengan para pendatang atau sebaliknya orang pendatang dan orang asli Papua.
Dalam konteks isu konflik dan disintegrasi bangsa, orang Buton yang ditempatkan sebagai pendatang di beberapa wilayah konflik seperti Maluku, Timor Leste dan Papua harus ditempatkan pada landscap yang berbeda. Dalam tulisan ini, saya mencoba membatasi pembahasannya spesifik untuk wilayah Papua.
Orang Buton dan Sejarahnya di Papua
Orang Buton sudah ada di tanah Papua jauh sebelum lahirnya NKRI. Keberadaan orang Buton di Papua sudah ada sejak abad XVI. Mula-mula orang Buton ditemukan berdagang di pesisir laut Papua. Selain berdagang, orang Buton di masa-masa Papua mulai terbuka dengan dunia luar, orang Buton tersebar membuat perkampungan-perkampungan kecil yang tersebar.
Bukan di Papua saja corak membangun kampung-kampung kecil secara tersebar melainkan di tempat-tempat lain juga. Di Papua banyak sekali nama kampung Buton seperti Skyline di Kota Jayapura dan di tempat-tempat lain.
Persebaran orang Buton dengan cara membuat kebun, bertani hingga nelayan ini dapat ditemukan di banyak tempat. Cara-cara ini ternyata dibaca Profesor Susanto Zuhdi adalah cikal bakal kampung-kampung itu kelak menjadi pusat-pusat pemukiman modern.
Bahasa kerennya, org Butonlah yang merintis atau membuka tumbuhnya pusat-pusat kota modern baru di berbagai daerah. Dan khusus di Indonesia Timur, kota-kota modern yang ada saat ini banyak yang bermula dari kebun dan kampung nelayan orang Buton.
Selain itu, orang Buton banyak berkontribusi di bidang-bidang lain. Sebagai penunjuk jalan orang luar masuk wilayah-wilayah angker. Leluhur orang Buton ikut mengemudikan perahu "nabi orang Papua", Ottow dan Geissler masuk menyebarkan agama Kristen lewat negeri Mansinam, Manokwari.
Bukan itu saja, orang Buton juga ikut menjadi pengemudi perahu bagi tokoh agama generasi kedua Ottow dan Geissler masuk wilayah-wilayah rawan lain di Papua. Peran signifikan orang Buton di Papua masih berlanjut saat Papua mulai masuk dalam NKRI.
Sebagai generasi yang lahir di akhir tahun 70-an, kontribusi orang Buton mulai tergusur setelah era pembangunan Soeharto hingga sekarang. Di mulai dari proyek transmigrasi Orde Baru tepatnya.
Sebelum orde baru, orang Buton di Papua bisa disebut jaya dalam berbagai hal. Orang Buton dikenal memiliki tabib-tabib tradisional dengan kemampuan menyembuhkan banyak orang sakit saat kedokteran modern berupa rumah sakit dan puskesmas masih langka.
Orang Buton juga adalah orang-orang yang menyuplai kebutuhan pangan khususnya hasil-hasil pertanian dan nelayan di berbagai pasar-pasar modern di tahun-tahun 70, 80, 90 an. Dan baru tahun 2000-an saat idiologi pembangunan Orde Baru hingga Otsus Papua tahun 2001, peran orang Buton mulai terpinggir bahkan tergusur.
Orang Buton Dalam Pembangunan, Reformasi dan Otsus Papua
Di era pembangunan Orde Baru, reformasi hingga Otsus Papua, orang Buton dengan sejarah besarnya di negeri "ras Malanesia" ini mulai tergusur. Dan itu mulai terasa saat masuknya transmigrasi yang masif di Papua.
Banyak kampung orang Buton tinggal nama saja. Skyline, Abepantai, Dok IX, Doyo dan lain-lain yang notabene kampung-kampung penghuni orang Buton sedikit demi sedikit mulai menjadi kampung terbelakang.
Sebagai contoh, dahulu kampung kelahiran saya di Abepantai dikenal lumbung pangan pertanian pemasok kebutuhan warga Kota Jayapura dan sekitarnya kini mulai tertinggal, tergusur dan berubah jadi sarang narkoba. Kampung narkoba adalah predikat yang diberikan dinas BNN Kota Jayapura.
Padahal dahulu kampung ini sangat maju, makmur dan berdirinya masjid pertama di Kota Jayapura. Sudah ada ratusan masjid yang tumbuh di Kota Jayapura dan Abepantai yang notabene kampung orang Buton tercatat sebagai masjid pertama.
Tergusurnya orang Buton di Jayapura dan Papua umumnya sejak Orde Baru dan Otsus Papua disebut-disebut karena faktor internal. Orang Buton disebut tidak mau berubah, orang Buton tidak peka dengan perkembgn zaman dan sebagainya.
Orang Buton Ditengah Konflik dan Disintegrasi Papua Dalam Wilayah NKRI
Sebagai generasi orang Buton yang lahir di Papua 3 generasi lalu, saya harus kritis membaca perkembangan masyarakat saya. Tergusurnya orang Buton mulai tahun 200-an hingga saat ini ikut memberi andil pada identitas orang Buton menjadi terombang ambing. Ibarat perahu, orang Buton tidak memiliki arah kemudi yabg jelas.
Ketidakjelasan ini bisa dilihat dalam posisi Papua dalam dinamika konflik dan isu disintegrasi. Orang Buton tidak memiliki tokoh maupun isu bersama ketika dihadapkan pada setiap konflik dan gerakan Papua merdeka.
Orang Buton cenderung diperalat atau di setir orang lain. Kondisi ini membuat orang Buton selalu memetik kerugian yang beruntun.. Sebagai contoh filosofi Nanas dalam orang Buton yang sangat dikenal bisa berbaur berabad-abad di Ambon hancur ketika konflik.
Orang Buton dianggap bangsa pembuat onar di Ambon dan Papua. Istilah BBM (Buton, Bugis dan Makassar) dicitrakan sebagai aktor pembuat masalah. Walau orang Buton dikenal ramah, tidak neko-neko tapi ia tetap masuk dalam kategori suku pembuat masalah. Dalam konteks ini, filosofi orang Buton tentang Nanas tadi menjadi tidak relevan lagi.
Bukan itu saja, orang Buton selalu diperalat dalam menyikapi gerakan politik lokal. Dalam politik, bangsa Buton perantauan cenderung apolitis ketimbang suku-suku nusantara lain. Hanya 0,1 persen orang Buton yang tertarik dalam Pileg maupun Pilkada dalam setiap Pemilu.
Orang Buton lebih tertarik berkebun, nelayan dan berdagang saja. Kondisi ini bukan berarti orang Buton tidak tertarik denga politik. Orang Buton malah jadi bulan-bulanan politisasi kandidat, politisi dan negara yang cukup prihatin.
Di politik lokal orang Buton kerap seperti tangga. Jelang Pileg dan Pilkada, orang Buton hanya sebagai pengumpul suara calon-calon dari suku-suku lain. Orang lain yang terpilih dan menikmati privilage politik sementara orang Buton hanya sebagai pemberi suara.
Kondisi tidak beruntung ini juga terjadi di tataran konflik lokal. Orang Buton hanya jadi bagian kecil dari kumpulan-kumpulan politik primordial dan agama. Saat Papua bergejolak, orang Buton bangga merasa orang NKRI dengan tampil menjadi pembela negara.
Hal ini bagus tapi jeleknya banyak. Orang Buton mati demi NKRI tapi dalam pembangunan negara ia tergusur. Kebijakan transmigrasi, KB, KIS, BOS, Otsus Papua dan kebijakan lain, orang Buton tidak banyak mendapat manfaat.
Cek juga dengab konflik di Ambon, apa yang dirasakan perantau Buton di sana. Mereka dikenal suku toleran, suka berbaur tapi tetap saja dianggap suku pendatang pembuat onar. Wajar bila konflk lokal ikut membuat bangsa Buton sebagai sasaran kebencian warga asli setempat.
Sebagai orang Buton, saya miris dengan kondisi tersebut. Menjadi orang NKRI salah, berbaur dengan orang lokal seperti petuah leluhur ternyata sudah tidak pas. Orang Buton sudah seperti kata-kata leluhur, jadilah seperti filosofi Nanas tapi kondisi konflik lokal dan isu disintegrasi seperti Papua, Ambon (termasuk Timor Leste) sudah tidak pas lagi.
Di konflik Ambon, orang Buton banyak yang jadi korban eksodus, kehilangan harta, nyawa dan lain-lain. Di Timor Timur, banyak orang-orang Buton yang kaya raya di sana eksodus hanya karena merasa bangsa NKRI. Tapi apa yang terjadi? Mereka mempertahankan nasionalisme tapi buktinya mereka kembali hidup miskin lagi.
Di Papua, juga begitu. Setiap konflik, orang Buton selalu ikut eksodus dan membela NKRI tapi ujung-ujungnya tidak ada yang ia peroleh selain keamanan dan kesejahteraan semu.
Bangsa Perantau Buton dan Refeleksi Sejarah Besarnya
Dari situasi tersebut, sekali lagi saya merasa sangat miris. Dari pengalaman yang ada, saya melihat Buton sedang berada dalam sejarahnya yang paling buruk. Dan harus dipikirkan cara mengakhiri sejarah buruk tersebut sesegera mungkin.
Dua tahun lalu, saya hampir menangis begitu tahu bangsa Buton adalah bangsa dengan sejarah besar. Lahir besar di perantauan Papua, saya hanya mendapat kebesaran Buton dalam mitologi. Setelah membaca beberapa informasi ilmiah termasuk merantau ke Amerika Serikat dan bergaul dengan kawan-kawan yang punya akses dengan perpustakaan Leiden, Belanda, saya kaget minta ampun.
Buton bangsa besar, akses kesultanannya telah mendunia berabad abad serta pemerintahanya sudah berbentuk negara berdaulat sejak abad XVI.
Hal itu terlihat dari beragam dokumen kerjasama Buton dengan pihak asing. Dan lebih mencengangkan, Buton tidak pernah dijajah Belanda seperti sejarah-sejarah daerah lain NKRI. Keadaan itu membuat saya berkesimpulan bila Buton ingin jaya di perantauan dan negerinya sendiri, maka ia harus berani, cerdas dan diplomatis.
Terlalu panjang bila saya menjelaskan semua. Referensi tentang kehebatan-kehebatan masa lalu para leluhur bisa kita ulang, bila bangsa Buton dimanapun mau belajar dari sejarah bangsanya dengan sesungguhnya!