
“Mereka Inspektorat itu biar turun tangga saja dari lantai 4 ke lantai 3 pakai SPPD.” Kalimat bernada sarkas ini lahir dari banyak ASN Pemkab Buton yang menggambarkan persepsi bahwa aktivitas perjalanan dinas di lingkungan Inspektorat sudah terlalu sering dan berlebihan.
Surumba.com - Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga akuntabilitas keuangan daerah kini terseret dalam pusaran dugaan penyimpangan anggaran. Inspektorat Kabupaten Buton, instansi yang bertugas mengawasi pelaksanaan keuangan diduga terlibat kasus pemalsuan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) senilai Rp500 juta.
Ironinya, dugaan itu muncul dari pos belanja perjalanan dinas yang merupakan komponen anggaran penyerap hampir separuh total belanja Inspektorat tahun 2024.
Berdasarkan dokumen Rancangan Peraturan Bupati Buton Tahun 2025 tentang Penjabaran Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024, Inspektorat Kabupaten Buton mengelola anggaran sebesar Rp4.243.986.140 setelah perubahan APBD. Dari total itu, Rp4.042.318.568 telah terealisasi atau 95,25 persen terserap sepanjang tahun anggaran.
Dari total tersebut, Rp2.908.017.140 dialokasikan untuk Program Penunjang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dengan tingkat realisasi 97,52 persen atau Rp2.835.761.568. Program ini mencakup beragam kegiatan operasional lembaga, termasuk pelatihan, rapat koordinasi, dan perjalanan dinas.
Namun yang paling mencolok adalah pos Belanja Perjalanan Dinas yang mencapai Rp2.033.080.000 atau hampir setengah dari total anggaran Inspektorat.
Rinciannya pun terpecah dalam sederet kegiatan:
- Pendidikan dan Pelatihan Pegawai: Rp22,79 juta
- Bimtek Implementasi Peraturan Perundang-Undangan: Rp284,33 juta
- Rapat Koordinasi dan Konsultasi SKPD: Rp431,18 juta
- Pengawasan Kinerja Pemerintah Daerah: Rp10,8 juta
- Pengawasan Keuangan Pemerintah Daerah: Rp406,8 juta
- Reviu Laporan Kinerja: Rp151,2 juta
- Reviu Laporan Keuangan: Rp113,4 juta
- Pengawasan Desa: Rp230,4 juta
- Penanganan Kerugian Negara/Daerah: Rp72 juta
- Pengawasan dengan Tujuan Tertentu: Rp216 juta
- Pendampingan Urusan Pemerintahan Daerah: Rp92,4 juta
- Pendampingan dan Verifikasi Penegakan Integritas: Rp1,8 juta
Melihat komposisi itu, sulit menampik bahwa perjalanan dinas telah menjadi “urat nadi” operasional Inspektorat Buton. Dan ironinya, dari pos inilah dugaan penyimpangan mencuat dengan nilai mencapai Rp500 juta.
Kasus ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Buton Tahun 2024.
Dalam laporan itu, BPK menemukan adanya dokumen pertanggungjawaban keuangan yang tidak sesuai realisasi. Saat diminta menunjukkan bukti fisik perjalanan dinas dan dokumen pendukung, bendahara Inspektorat tidak mampu menyajikannya.
Kepala Inspektorat Kabupaten Buton, Gandid Sioni Bungaya, membenarkan bahwa dugaan tersebut melibatkan bendahara Inspektorat berinisial KN.
“Ya, benar. Intinya bendahara itu merekayasa SPJ,” ujar Gandid saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Rabu (16 Juli 2025).
Menurutnya, KN memanfaatkan celah dalam sistem aplikasi Satker yang digunakan untuk pencairan dan validasi anggaran. Dalam sistem itu, setiap pengeluaran harus divalidasi oleh kepala OPD selaku pengguna anggaran. Namun dalam kasus ini, bendahara justru memiliki dua akun berbeda, yakni miliknya sendiri dan akun milik kepala Inspektorat.
“Dia pegang dua akun. Akun saya dengan akunnya dia. Jadi tinggal klik validasi sendiri,” kata Gandid.
Dengan akses ganda tersebut, KN disebut memalsukan tanda tangan kepala inspektorat, menginput data fiktif ke sistem, dan mencairkan dana langsung ke rekening pribadinya.
Dana itu kemudian dilaporkan seolah-olah digunakan untuk kegiatan perjalanan dinas, rapat koordinasi, dan pengawasan lapangan.
“Saya kecolongan. Tanda tangan saya juga dipalsukan,” ungkap Gandid.
Temuan BPK atas penyimpangan tersebut kemudian menjadi perhatian Kejaksaan Negeri Buton.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Buton, Norbertus Dhendy, memastikan kasus itu telah masuk tahap penyidikan sejak 20 Agustus 2025.
“Tim penyidik sudah memeriksa 12 saksi untuk tahap penyidikan ini. Kemungkinan jumlahnya akan bertambah karena di tahap penyelidikan saja ada 36 saksi yang diperiksa,” ujar Dhendy ketika ditemui di ruang kerjanya, Selasa (6 Oktober 2025).
Ia menambahkan, saksi yang diperiksa berasal dari berbagai unsur, baik internal Inspektorat maupun pihak lain yang mengetahui alur penggunaan anggaran.
“Campuran, bukan hanya dari Inspektorat,” jelasnya.
Untuk menghitung nilai pasti kerugian negara, Kejaksaan telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Untuk mengetahui besaran kerugian negara, tim penyidik sudah koordinasi dengan pihak BPKP karena harus dari ahli,” tegas Dhendy.
Sementara itu, Inspektorat telah mencopot KN dari jabatannya sebagai bendahara dan menempatkannya sebagai staf biasa. Ia juga telah menandatangani surat pernyataan pengembalian dana, dengan jaminan berupa sertifikat tanah dan aset pribadi.
“Kami beri waktu 60 hari untuk pengembalian. Kalau tidak bisa, konsekuensinya lain,” ujar Gandid.
Sorotan terhadap Efisiensi dan Integritas
Besarnya porsi anggaran perjalanan dinas dan realisasinya yang mencapai hampir 100 persen kini memunculkan pertanyaan serius bahwa apakah seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan?
Dalam banyak kegiatan, perjalanan dinas justru menjadi komponen utama, bukan penunjang. Padahal, Inspektorat berfungsi sebagai lembaga pengawas yang seharusnya menekan pemborosan anggaran, bukan menjadi sumbernya.
Secara keseluruhan, realisasi belanja Inspektorat Buton tahun 2024 mencapai 95,25 persen, angka yang secara administratif terlihat ideal. Namun di balik itu, muncul dugaan bahwa efisiensi dan transparansi penggunaan dana belum sepenuhnya berjalan baik.
Di kalangan ASN Pemkab Buton, sindiran pun beredar bahwa “mereka Inspektorat itu turun tangga saja dari lantai 4 ke lantai 3 pakai SPPD.”
Sindiran yang mungkin terdengar berlebihan, tetapi mencerminkan persepsi umum terhadap frekuensi dan besarnya perjalanan dinas di Inspektorat Buton.
Publik kini menunggu hasil penyidikan Kejaksaan dan langkah tindak lanjut dari BPK serta Pemerintah Kabupaten Buton. Sebab kasus ini menyangkut kredibilitas lembaga pengawas internal yang semestinya berdiri di garis depan dalam menjaga integritas keuangan daerah. (Adm)