SURUMBA.com - Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Buton, Ridwan Saifun, memberikan penjelasan terkait kematian tragis seorang bayi berusia tujuh bulan asal Desa Balimu, Kecamatan Lasalimu, dalam perjalanan rujukan ke RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
Menurut Ridwan, pihaknya sudah memberikan perawatan maksimal sebelum pasien diputuskan untuk dirujuk.
Ridwan menyampaikan, bayi tersebut pertama kali masuk ke UGD RSUD Buton pada 17 Oktober 2024 dengan keluhan sesak napas dan didiagnosis menderita infeksi paru-paru serta jantung bawaan.
Pasien kemudian dirawat selama lima hari di ruang anak dan sempat diperbolehkan pulang pada 22 Oktober. Namun, pada hari yang sama, bayi tersebut kembali dilarikan ke RSUD karena kondisinya memburuk.
“Ternyata tiba di rumah kambuh lagi sesak nafasnya karena pasien terkena infeksi paru dan jantung bawaan. Ada kebocoran di jantungnya. Maka, kami rawat lagi mulai tanggal 22, kemudian tanggal 31 direncanakan dirujuk,” ujarnya.
Ridwan mengaku, pada 31 Oktober itu kondisi bayi sudah mulai stabil, tidak memerlukan oksigen, sudah makan dengan baik, dan demamnya sudah mereda. Olehnya, dokter memutuskan untuk merujuk pasien ke RSUP dr. Wahidin di Makassar, yang memiliki spesialis jantung anak.
Prosedur Rujukan yang Dilakukan RSUD Buton
Ridwan menjelaskan bahwa rujukan pasien dilakukan melalui Sistem Rujukan Terintegrasi (SISRUTE), di mana pihak RSUD menghubungi rumah sakit rujukan secara daring untuk memastikan ketersediaan tempat.
Saat itu, pihak RSUD Buton menerima konfirmasi bahwa UGD di RSUP Wahidin sedang penuh. Olehnya atas pertimbangan kondisi bayi sudah stabil, dibuatlah rujukan sebagai pasien rawat jalan, bukan UGD, sesuai standar yang berlaku.
Menurut Ridwan, prosedur rujukan rawat jalan ini tidak mewajibkan pendamping medis. Perawat yang awalnya disiapkan tidak ikut dalam perjalanan karena status rujukan adalah rawat jalan, bukan rawat darurat UGD.
"Kalau pasien UGD, harus ada pendampingan apapun itu. Tapi karena ini rawat jalan dan kondisi pasien stabil, perawat tidak mendampingi,” katanya.
Biaya Pengobatan dan Ambulan Sesuai Aturan
Mengenai biaya pengobatan sebesar Rp 6 juta yang ditanggung keluarga pasien, Ridwan membenarkan bahwa bayi tersebut masuk sebagai pasien umum. Sebab BPJS Kesehatan pasien belum aktif karena program Jaminan Kesehatan Semesta (UHC) yang dibiayai Pemerintah Kabupaten Buton tidak berjalan pada tahun 2024.
Program UHC yang digagas pada masa Pj Bupati Buton, Basiran, yang sebelumnya menjamin biaya pengobatan bagi warga, tahun ini tidak mendapat alokasi dalam APBD akibat keterbatasan anggaran.
“Kalau tidak salah bulan lalu kami sudah rapat dengan BPJS dan pemerintah daerah. Karena ada kendala anggaran, BPJS menonaktifkan kepesertaan, termasuk pasien ini dan pasien-pasien lain,” ujarnya.
Ridwan juga menjelaskan bahwa biaya ambulans harus ditanggung pasien, sesuai peraturan daerah, karena rujukan dilakukan sebagai rawat jalan.
"Pasien pulang dengan ambulans itu tidak dijamin BPJS. Karena statusnya rawat jalan, dianggap sama seperti pulang,” jelas Ridwan.
Respons Terkait Tuduhan Keluarga Mengenai Penanganan di Pelabuhan
Menanggapi pengakuan keluarga pasien yang merasa tidak mendapat akses langsung ke dalam kapal dan hanya diturunkan di parkiran pelabuhan, Ridwan menegaskan bahwa ambulans sudah masuk hingga area pelabuhan.
Dia sudah memanggil sopir ambulans dan kepala ruangan terkait untuk mengklarifikasi, dan diperoleh keterangan bahwa ambulans membawa pasien hingga masuk ke dalam pelabuhan.
Menurut Ridwan lagi, karena pasien sudah stabil, maka tidak perlu melalui prosedur khusus di karantina pelabuhan.
"Kalau kondisinya baik, seperti rawat jalan, memang tidak perlu melapor ke karantina. Ini berbeda kalau pasien dalam kondisi kritis atau rawat inap,” imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan media online panduanrakyat.com, RSUD Buton kembali menjadi sorotan setelah seorang bayi berusia tujuh bulan meninggal dunia dalam perjalanan rujukan ke RSUP dr. Wahidin Makassar.
Keluarga pasien, Si Yusti, menuding buruknya pelayanan rumah sakit sebagai penyebab utama tragedi ini.
"Pelayanan di RSUD Buton sangat mengecewakan," ungkap Si Yusti dengan nada kesal. "Anak adik saya harus kehilangan nyawa karena kelalaian pihak rumah sakit."
Kronologi kejadian bermula saat bayi tersebut dirawat inap di RSUD Buton selama 15 hari akibat penyakit paru-paru dan jantung. Setelah mengeluarkan biaya sebesar Rp 6 juta, pasien dirujuk ke Makassar. Namun, kejutan pahit menanti keluarga saat perjalanan.
Perawat yang seharusnya mendampingi pasien justru tidak ikut dengan alasan UGD RSUP Wahidin Makassar penuh. Padahal, perawat tersebut telah bersedia dan tiket kapal pun sudah dibeli. Akibatnya, keluarga terpaksa membawa bayi yang sakit parah itu sendiri tanpa pendamping medis.
Lebih parahnya lagi, alat bantu pernapasan bayi malah dibuka saat dalam perjalanan. Sesampainya di pelabuhan, keluarga diturunkan di tempat parkir sehingga pihak kapal tidak mengetahui adanya pasien. Bayi malang itu pun harus berdesakan dengan penumpang lain tanpa mendapatkan perawatan khusus.
"Kami baru tahu ada klinik di dalam kapal setelah bayi saya kejang-kejang," ujar Si Yusti. (Adm)