Refleksi HUT Desa Laburunci ke-23

Post Image
(Foto: Ist)

Oleh: Cendraman
Ketua GP Ansor Kabupaten Buton

Alhamdulillah, kini Desa Laburunci, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, telah berumur 23 tahun. Penulis berniat menulis sepintas tentang Laburunci dengan masyarakatnya yang tangguh di tengah pandemi Covid-19. Ini sebagai bentuk cinta penulis kepada kampung halaman.

Masyarakat Laburunci dengan segala kemampuan yang ada, mampu bertahan di tengah pandemi dan optimisme yang tak padam dalam melihat persoalan covid karena keyakinan pada doa para tetuah kampung dan upaya pemerintah desa, membuat masyarakat optimis dalam mencegah covid.

Pelajaran hidup berangkat dari keluarga dan pengalaman hidup berangkat dari lingkungan sekitar baik dalammaupun di luar kampung.

Sehingga, sebagai anak kampung Laburunci, Penulis mencoba mengulas sedikit dari banyak kearifan Desa Laburunci dalam hal "pikampoa" (bermasyarakat) dan bagaimana Desa Laburunci mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah pandemi dan gempuran kecanggihan teknologi.

Tentu, semua kampung memiliki kearifan dan keunikannya yang menjadi ciri khas dan identitas suatu kampung. Namun, izinkan penulis mengulas kampung halaman penulis dalam kacamata pengetahuan pendek penulis.

Penulis mencatat tiga hal yang menjadi kekuatan dasar yang dimiliki oleh Desa Laburunci. Pertama, Religiusitas, kedua Kearifan Lokal, dan ketiga Gotong Royong.

Religiusitas

Hingga saat ini imam masjid Baabutaqwa masih melantunkan qunut dalam setiap akhir rakaat shalat lima waktu agar semesta ini terhindar dari wabah Covid-19. Meski sebagian masjid tidak melakukan, ini hanya persoalan mazhab. Poinnya, semoga corona segera berlalu.

Sebagai manusia yang beriman, nilai Ketuhanan adalah tingkat tertinggi dalam pengabdian seorang manusia kepada pencipta-Nya. Sebagaimana penggalan firman Allah SWT, yang artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan beribadah kepada-Ku" (QS. Az Zariat 51: ayat 56).

Sebagaimana juga dasar negara kita Pancasila, pada sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Nilai keilahian terabadikan dalam kehidupan masyarakat Laburunci. Nilai ibadah itu, terletak pada kepedulian dalam pengurusan orang meningggal, pembangunan masjid, dan santunan pada masyarakat miskin dalam momentum pembagian zakat, serta kaderisasi remaja masjid.

Saat ini Laburunci memiliki dua masjid sebagai cerminan simbolik Laburunci dalam implementasi ibadah mahda dan ghoiroh mahda. Ini sebuah upaya peningkatan iman dan ketaqwaan, sebuah perjalanan ibadah secara kolektif masyarakat Laburunci.

Penulis melihat dua masjid Laburunci sebagai simbol kerahmatan. Artinya, Laburunci harus menjadi muslim yang mampu membawa rahmat bagi seluruh alam, menjadi muslim yang membawa perdamaian, menjadi muslim rahmatan lilalamin.

Selain itu, Organisasi Remaja Masjid Baabutaqwa yang secara regeneratif berjalan aktif di setiap periodenya. Termasuk di zaman penulis pada tahun 2007 hingga saat ini. Diorganisasi ini, mendidik para remaja untuk memakmurka nmasjid, dididik mental di hadapan publik, dan rutinitas pengajian sehabis magrib terus bergema dalam lantunan ayat-ayat suci. Semua semata ilahi Rabb, mengabdi pada desa juga pada agama. Begitulah Remaja Masjid Baabutaqwa dikader.

Kearifan Lokal

Ciri khas Desa Laburunci adalah budaya lokal seperti Maataa (pesta adat). Tanggal 31 Oktober kemarin, Laburunci telah mentunaikan salah satu tradisi pesta adat "maataa". Tradisi yang telah lama dilakukan oleh para pendahulu kampung yang memiliki "galampa" (tempat musyawarah adat).

Maataa atau pesta kampung adalah tradisi baik dalam komunitas masyarakat Buton, sebuah tradisi penting dalam komunitas adat Buton. Sebab pesta adat merupakan bentuk kesyukuran atas pencapaian-pencapaian yang telah dimiliki oleh kampung baik rezeki, kesehatan maupun keamanan. Sebab masyarakat meyakini bahwa doa para tetuah adat merupakan hal substansi dalam perjalanan hidup dan mati seseorang.

Di masa pandemi ini, alhamdulillah, masyarkat (yang pernah)terjangkit positif Covid-19 berangsur pulih dan kembali, dan semoga saja tidak akan adalagi. Amin. Ini berkat lindungan Allah SWT dan doa tetuah adat dalam menjaga kampung Laburunci.

Disamping itu, Maataa menghadirkan cinta di tengah perbedaan. Setiap rumah akan menghidangkan makanan bagi para tamu dengan beragam latar belakang identitas, semua terakomodasi atas nama kemanusiaan sehingga melahirkan kehidupan yang damai dan harmonis.

Maataa dapat menjadi konsep toleransi sebab ia menghadirkan cinta dan keterbukaan kepada sesama manusia. Tak ada larangan bagi orang luar Laburunci bergabung dalam perayaan Maataa,sebab dengan menghadirkan cinta kita tak melihat lagi perbedaan.

Untuk menjaga keindahan budaya ini, Pemuda kampunglah jawaban atas tantangan budaya lokal ditengah arus globalisasi, kita menjadi pelaku ataukah menjadi penonton peradaban. Sebab Maataa adalah sebuah peradaban budaya, maka mempertahankannya adalah sebuah keharusan.

Gotong Royong

Sebagai masyarakat tangguh, masyarakat Desa Laburunci terbangun dalam tatanan nilai kebersamaan dalam membangun kampung. Bukti gotong royong itu terpatri dalam pembangunan dua masjid yang kini dalam proses pembangunan. Hampir seluruh warga terlibat dalam pembangunannya, tua muda, kecil besar, aktif dalam pembangunan tempat ibadah.

Tidak hanya itu, ujian tak mengalirnya air dipemukiman warga menjadi cobaan podansi gotong royong masyarakat Laburunci. Musyawarah pun digelar, banyak pemuda terlibat dalam forum. Kesepakatan pun lahir, tinggal menunggu realisasinya. Laburunci adalah desa tangguh, desa religius, desa berbudaya. Semoga menjadi Masyarakat Baabutaqwa (pembuka pintu taqwa), menjadi desa rahmatan lil alamin. Selamat HUT Desa Laburunci ke-23!

TERKINI