Ramalan “Jayabaya” vs Ramalan “Ladhari” Pada Pilkada Butur 2020

Aswadi. (Foto: Ist)

Oleh: Apri Awo
Pemuda PEBAOA, Kulisusu Utara

Perjalanan kepemimpinan di Indonesia sudah beberapa kali dipimpin oleh presiden yang berbeda-Beda. Mulai dari presiden pertama Soekarno hingga sekarang Joko Widodo. Tentu dengan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda pula.

Berbicara tentang sederet pemimpin di Indonesia, zaman sebelum itu ada satu ramalan Jayabaya yang sangat legendaris, yang mengungkapkan mengenai sosok pemimpin Indonesia adalah NOTONOGORO yang diartikan sebagai menara negara.

Sebut saja SoekarNO, SoeharTO dan Susilo Bambang YudhoyoNO. Ketiga pemimpin ini dipercayai sebagai salah satu bukti ramalan Jayabaya, sebab suku kata terakhir pada nama mereka membentuk NOTONOGORO.

Jauh di Timur Indonesia, ramalan legendaris serupa pun pernah ada dan sebagian darinya telah terbukti. Ialah Ladhari yang meramalkan perjalanan dan kepemimpinan Lipu Tinadhe Akono Sara (Buton Utara, Sulawesi Tenggara).

Jika dalam ramalan Jayabaya dengan pendekatan suka kata pada akhiran nama pemimpin Indonesia (NOTONOGORO) sebagai menara negara, maka dalam ramalan Ladhari menggunakan pendekatan perjuangan/pengorbanan hingga penggambaran sosok pemimpin Lipu Tinadhe Akono Sara sebagai simbol kesempurnaan TUBUH MANUSIA.

Ramalan Ladhari, pertama yang legendaris dan fenomenal adalah tentang perjuangan 'Heroik' pembebasan Lipu Tinadhe Akono Sara menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB). Ramalan tersebut mengisahkan, bahwa suatu saat Lipu Tinadhe Akono Sara akan merdeka (berpisah dari Kabupaten Muna). Namun, perjuangan (pemekaran) itu ibarat mengambil (baca: kemerdekaan) dari bara api. Yah, perjuangan/pengorbanan yang berdarah-darah tentunya. Alhasil, 2007 lahirlah DOB Buton Utara setelah kurang lebih dua tahun api perjuangan berkobar (sejak 2005-2007). Bak gayung bersambut, senada dengan ramalan tersebut.

Ramalan legendaris dan fenomenal Ladhari, yang kedua adalah tentang gambaran sosok pemimpin Lipu Tinadhe Akono Sara yang merupakan gambaran kesempurnaan TUBUH MANUSIA (dari Kaki-Perut-Kepala) disandingkan dengan topografi Lipu Tinadhe Akono Sara (baca: Kulisusu) yakni dari Karuno Wita (Kaki), Tongano Wita (Perut) & Rapano Wita (Kepala).

Pemimpin pertama, putra daerah yang berasal dari 'Karuno Wita' (sekarang Jazirah Selatan Kulisusu). Menurutnya, suasana kebatinan di saat Kepemimpinan itu 'Lipu Tinadhe Akono Sara' diselimuti penuh dengan gejolak & huru hara. Sekarang pun masih bisa ditemui sisa puing-puing abu gejolak dan huru hara kala itu.

Sebut saja, pembakaran Kantor Bupati dan Kantor DPRD hingga huru-hara lainya (Korupai 7 Dermaga) ketika itu adalah bisa jadi jawaban dari kisah ramalan tersebut. Namun, lanjutnya kepemimpinannya (baca: Karuno Wita) tidak bertahan lama dan akan ditumbangkan oleh gerakan rakyat jelata (fenomena gerakan lapa-lapa dan kocupa) .

Pemimpin kedua, putra daerah yang berasal dari "Tongano Wita" (sekarang jazirah Lipu Raya dan Sekitarnya). Menurutnya, perjuangan rakyat yang berhasil menumbangkan pemimpin sebelumnya tak akan membuahkan hasil.

Suasana kebatinan 'Lipu Tinadhe Akono Sara' kala itu diselimuti angkara dan ambisi memperkaya diri, keluarga dan kolega. Sedangkan rakyat hanya menjadi penonton sembari meneguk air liurnya ketika lapar.

Drama pergerakan 'Abu Lapar', padi organik, hingga lelang proyek penanggulangan bencana yang berujung bencana adalah sekelumit kisahnya. Namun, kepemimpinannya tak akan bertahan lama dan akan di tumbangkan pula oleh putra daerah Lipu Tinadhe Akono Sara Dari Utara Kulisusu (Rapano Wita).

Pemimpin ketiga, adalah gambaran sosok pemimpin dari Rapano Wita (sekarang Jazirah Kulisusu Utara). Sosoknya digambarkan masih dalam usia sangat muda, energik dan menuai sukses di perantauan "Lipu Yi Ciu" (baca: daerah Timur Indonesia).

Di awal kehadirannya, Ia dibenci oleh kaumnya, tingkah lakunya jadi cemo'ohan, hingga kepribadiannya jadi guyonan. Namun, karena rekadnya ia tak gentar dan mampu melewati semua tantangan di hadapinya. Sebut saja, drama 'Pohon Beringin', cemo'ohan "anak kemarin sore" hingga guyonan "nahkoda tanpa kapal" (baca: tidak dapat pintu lParpol) adalah ujian terberat dan mampu dilaluluinya.

Semakin hari ia diterima dan kian disayangi, benci jadi rindu, cemo'oh jadi sayang. Hingga pada saatnya nanti (baca: menjadi Pemimpin Lipu Tinadhe Akono Sara), semua rakyat Lipu Tinadhe Sara menaruh harap padanya, kecuali mereka yang masih angkuh dan serakah…!

Di masa kepemimpinannya, adalah era kejayaan Barata Kulisusu (Lipu Tinadhe Akono Sara) akan bersinar kembali (Butur Bersinar). Hasil bumi dan laut akan tampak di permukaan, rakyat sejahtera loh jinawi.

Ladhari, ramalan legendarismu kini sedang di uji. Anak muda yang engkau kisahkan itu (Pemimpin Lipu Tinadhe Akono Sara) kini telah hadir dan sedang berjuang bersama kaumnya. Sekiranya, dia telah digariskan (Pemimpin) maka tiada daya dan upaya untuk 'Lawannya' selain menyerah di tanggal 9 Desember 2020.

Yo Aaimo, Mongurano Bomo Wumanguho Lipu Tinadhe Akono Sara. Pemimpin Baru, untuk Butur Bersinar…!!!

TERKINI