Oleh: Muhammad Risal Kamarullah
Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta
Di Indonesia masih berada pada transisi demokrasi yang mana masih berjalan stagnan dan bahkan ada juga di beberapa tempat mengalami kemunduran yang membuat kita masih jauh dari kata harapan demokrasi terkonsolidasi.
Demokrasi Indonesia bisa dikatakan belum sepenuhnya terkonsolidasi misalny: 1) Civil Society yang kuat; 2) Pemilu yang adil dan kompetitif; 3) Demokrasi bisa berjalan dan berproses dengan waktu yang begitu lama; 4) terpenuhinya hak-hak sipil, budaya warga negara, dan ekonomi, 5)supremasi hukum yang berjalan dengan baik; 6) pengadilan yang independen.
Masalah Krusial
Masalah demokrasi di indonesia yang begitu terlihat krusial yaitu absennya masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan, hilangnya oposisi, biaya pemilu yang begitu mahal dikarenakan politik uang yang sering kali dimainkan, kebebasan media massa, berita-berita hoax, masalah pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu yang belum di tuntaskan sampai saat ini, buruknya kaderisasi partai politik, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta masalah-masalah intoleransi bagi kalangan minoritas.
Kemungkinan kita akan mengalami situasi krisis suara kritis terhadap kekuasaan kerena hampir separuh elemen masyarakat sipil dari mulai kalangan intelektual perkotaan, LSM, media massa dan juga universitas telah merapat dengan kekuasaan atau memilih untuk bungkam guna menghindari stigma berpihak kepada kelompok-kelompok intoleran yang anti demokrasi dan anti pancasila.
Persoalan ini mungkin di sebabkan oleh polarisasi politik yang menajam sehingga membelah indonesia menjadi dua kubu, yang nantinya setiap suara yang mengkritisi pemerintah segera di kelompokan sebagai kubu anti terhadap pemerintah. Padahal absenya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan besar agar dapat mengontrol jalannya kekuasaan.
Terkhususnya universitas perlu mendapat catatan secara khusus di karenakan beberapa waktu lalu sejak era reformasi para universitas ini begitu berlomba-lomba merapatkan barisan kepada kekuasaan, dapat dilihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni-alumni dengan orang-orang yang berada di lingkaran istana yang menjadi jaringannya. Pemberian gelar kehormatan atau biasa disebut dengan doctor honoris causa kepada elit-elit politik yang tidak didasari dengan kontribusi nyatanya kepada elemen masyarakat dan ilmu pengetahuan melainkan kerena pertimbangan politik, dan juga absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan dan berani bersikap kritis terhadap kekuasaan, dan terlebih lagi kekuasaan yang begitu besar dimiliki pemerintah untuk menentukan siapa rektor terpilih memalui kementrian direktorat jenderal pendidikan tinggi.
Pengawasan atas aktivitas dosen baik di media sosial maupun di dunia nyata merupakan salah satu penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis di dunia akademik.
Sosial Media
Melemahnya moral masyarakat ( civic virtue ) dalam bermasyarakat sebagaimana yang tampak dalam perseteruan yang semakin menajam, dangkal secara pemikiran, dan kurang beradap antara pengguna ( netizen ) di jejaring sosial media merupakan suatu catatan penting lainya. Setiap warga negara perlu untuk belajar menghargai perbedaan pendapat atau berbeda pilihan politik sambil tetap berkawan, bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.
Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap kalangan minoritas agama dan suku merupakan gejala yang amat menghawatirkan. Perbedaan pendapat, pilihan politik dan semacamnya tidak boleh sampai mencederai modal sosial kita yang berupa rasa saling percaya, saling tolong menolong, toleransi, dan saling menghargai perbedaan pendapat.
Ancaman kebebasa media, pers dan berekspresi seperti pemberangusan buku, pencekalan diskusi. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga maupun jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.
Partai Politik
Problem demokrasi terbesar di negara kita hari ini adalah melemahnya partai politik. Problem partai politik bermula dari rekrutmen anggota partai yang tidak serius dan asal-asalan. Dosen, peneliti, dan bahkan tokoh masyarakat yang berkualitas semakin sedikit yang terlibat di dalam legislatif maupun eksekutif. Dua dekade setelah reformasi, partai politik belum menunjukkan keseriusan dalam perekrutan dan kaderisasi partai politik, dan lebih parahnya lagi perkrutan dan kaderisasi hanya dilakukan pada saat menjelang pemilu.
Disisi lain biaya pemilu begitu tinggi dikarenakan masifnya praktik politik uang yang dimainkan merupakan catatan lainnya, Ward Berenchot dan Aspinall berpendapat bahwa dari masa ke masa pemilu di era reformasi semakin mahal mulai dari nasional sampai di tingkat lokal, sebagai contoh pemilu di tahun 2019 sebagai pemilu termahal. Biaya pemilu yang begitu mahal akan berdampak pada praktik korupsi di berbagai sektor kelembagaan negara kerena para calon yang terpilih di legislatif berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan.
Demokrasi yang Mengalami Kemunduran
Setelah hampir dua periode masa jabatan pemerintahan Presiden Jokowi, kritik dari para analis di dalam negeri maupun luar negeri maulai bermunculan dari Eve Warburton dan Tom Powel (2019), Aspinall (2018) yang menganalisis perkembangan demokrasi di Indonesia dan berpendapat bahwa telah terjadi kemandekan dan bahkan kemunduran demokrasi di mana Presiden Jokowi malakukan praktik non-demokrasi seperti pembubaran ormas tanpa ada proses hukum, semakin kuatnya polarisasi politik, maraknya berita-berita hoax, meningkatnya intoleransi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Perlunya partisipasi dari semua pihak baik itu intektual, tokoh masyarakat, jurnalis, partai politik untuk menyadari kemandekan bahkan mengalami kemunduran demokrasi di Indonesia untuk berjuang bersama-sama menyalamatkan demokrasi di Indonesia. Minimnya dialog serta senergi di antara elemen masyarakat itulah masalah demokrasi di Negara kita.