Massa Aksi Banyak Terluka, BEM Hukum Unidayan Minta Pertanggungjawaban Polri

Post Image
Polisi dan mahasiswa menjadi korban luka dalam unjuk rasa penolakan Undang-Undang Omnibus Law di Kantor DPRD Kota Baubau, Jumat (Oktober 9, 2020). (Foto: Ist)

SURUMBA.com - Bentrok mahasiswa dan aparat Kepolisian dalam unjuk rasa penolakan Undang-Undang Omnibus Law di Kantor DPRD Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Jumat (Oktober 9, 2020), menimbulkan banyak korban luka.

Selain dari pihak aparat Polres Baubau, korban luka terbanyak merupakan mahasiswa. Begitu pula dengan yang jatuh pingsan karena menghirup gas air mata.

Termasuk Ketua BEM Teknik Unidayan, Rahmat, ketika itu turut menjadi korban luka di bagian kepala. Bahkan ada yang terindikasi terkena luka tembak di bagian lengan kiri seperti yang dialami Wakil Ketua BEM Hukum Unidayan, Nur Syaban.

Menurut Ketua BEM Hukum Unidayan, Noviyanti Malaha, bentrok berawal dari desakan massa aksi yang ingin bertemu dengan anggota DPRD Baubau. Namun upaya mereka sejak di gerbang awal sudah dihalangi aparat Kepolisian. Persitegangan pun terjadi dengan diikuti banyak provokasi.

Video amatir aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Omnibus Law di Kantor DPRD Kota Baubau.

Sebagai upaya membubarkan massa, Polisi kemudian menembakan gas air mata berulang kali. Tindakan ini dibalas dengan lemparan batu dari pihak mahasiswa. Aspirasi pun akhirnya tak tersampaikan karena sudah terjadi bentrok.

Novianti Malaha mengaku menyayangkan kejadian ini. Harusnya mahasiswa tidak selalu diperhadapkan dengan aparat Kepolisian. Sebab menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setia warga negara yang dilindungi konstitusi sebagaimana Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Kehadiran Polisi dalam setiap aksi penyampaian pendapat adalah untuk melindungi dan memberi rasa aman. Perintahnya jelas dalam Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 13 Perkap Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Namun yang terjadi dalam unjuk rasa, Jumat pekan lalu, berbanding terbalik dengan yang diamanatkan. Aparat Kepolisian justru disinyalir menyerang massa dengan gas air mata. Padahal tujuan aksi adalah untuk menyampaikan aspirasi kepada DPRD Baubau terkait penolakan Undang-Undang Omnibus Law yang dianggap merugikan dan mengenyampingkan hak-hak kaum buruh.

Novianti Malaha menuturkan, dalam mengawal jalannya aksi unjuk rasa, Polisi harusnya dapat membedakan antara palaku anarkis dan peserta murni penyampai pendapat. Peserta yang taat hukum harus diberi perlindungan hukum, dan terhadap pelaku anarkis ditindak tegas atau ditangkap. Begitu lebih kurang perintah Pasal 23 ayat 1 Perkap Nomor 9 Tahun 2008. Belum lagi bila ditambah dengan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.

Tapi yang terjadi, lanjut dia, Polisi malah bersikap sapu rata dalam pengamanan demo Undang-Undang Omnibus Law di Kota Baubau. Tindakan kekesarasannya menimbulkan banyak korban luka termasuk aparat Kepolisian sendiri.

Berdasarkan itu, atas nama BEM Hukum Unidayan, dia menegaskan kepada Polri khususnya Polres Baubau untuk bertanggungjawab atas tindakan kekerasan yang menimbulkan banyak korban luka dalam unjuk rasa penolakan Undang-Undang Omnibus Law di Kantor DPRD Kota Baubau.

"Dengan adanya tindakan kekerasan dalam pengamanan massa aksi hingga menyebabkan luka-luka, hingga ada yang terindikasi terkena tembakan peluru karet, kami meminta kepada pihak Kepolisiaan agar mengusut tuntas masalah ini".

Hingga berita ini diterbitkan, Kapolres Baubau, AKBP Rio Tangkiri, belum dapat dikonfirmasi. (man)

TERKINI