
Surumba.com - Pasar Kaloko, Kelurahan Takimpo, Kecamatan Pasarwajo, kembali menjadi sorotan Pemerintah Kabupaten Buton. Persoalannya bukan hanya menurunnya jumlah pembeli, tetapi juga kepatuhan pedagang dalam membayar retribusi serta praktik sebagian oknum yang menyewakan kios, los, dan lapak secara pribadi.
Dari total 208 kios yang tersedia, hanya sebagian kecil yang benar-benar dikelola sesuai ketentuan. Ironisnya, sekitar 40 persen kios justru berpindah tangan melalui praktik sewa ilegal. Tarif sewanya pun tidak kecil, berkisar Rp3 juta hingga Rp4 juta per tahun. Padahal, kios-kios itu dibangun dengan uang rakyat lewat APBD sehingga seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan dijadikan ladang bisnis pribadi.
Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Buton, Asruddin, S.Sos., M.Si., menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bermaksud menekan pedagang. Sebaliknya, Pemkab Buton justru membuka ruang keringanan agar pedagang bisa memenuhi kewajiban retribusi tanpa merasa terbebani.
“Pedagang bisa mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran sesuai aturan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak tertib,” ujarnya ketika dikonfirmasi soal Pasar Kaloko, di Masjid Raya Pasarwajo, Jumat (3 Oktober 2025).
Keringanan yang dimaksud Asruddin merujuk pada Peraturan Bupati Nomor 17 Tahun 2024 tentang Cara Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Beberapa poin penting yang diatur antara lain:
1. Pembatalan SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah)
Pedagang yang merasa keberatan dapat mengajukan pembatalan SKRD. Permohonan harus diajukan paling lambat tiga bulan sejak SKRD diterbitkan, lengkap dengan alasan dan dokumen pendukung. Proses ini melibatkan perangkat daerah pemungut retribusi, inspektorat, bagian hukum, hingga Bapenda. Jika disetujui, akan dibuat berita acara sebagai dasar pembatalan resmi.
2. Pembayaran Secara Angsuran (Pasal 297)
Bagi pedagang yang kesulitan membayar sekaligus, tersedia opsi angsuran. Permohonan diajukan maksimal 10 hari sebelum jatuh tempo. Jika disetujui Bupati, pembayaran bisa dicicil hingga empat kali dalam jangka waktu empat bulan. Tentunya, setiap persetujuan disertai pernyataan kesanggupan dari pedagang.
3. Penundaan Pembayaran (Pasal 298)
Pilihan lain adalah penundaan pembayaran. Pedagang bisa mengajukan permohonan sebelum jatuh tempo dengan alasan yang jelas. Jika disetujui, penundaan bisa diberikan paling lama enam bulan sejak tanggal jatuh tempo.
Dengan aturan ini, pemerintah ingin menunjukkan bahwa retribusi bukanlah beban mati. Ada ruang fleksibilitas yang memungkinkan pedagang tetap tertib tanpa merasa dikejar-kejar kewajiban.
Masalah lain yang kerap muncul adalah minimnya pemahaman pedagang mengenai perubahan tarif retribusi.
Berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2013, retribusi kios dihitung per meter persegi per bulan dengan variasi tarif. Misalnya, kios permanen di lantai I kelas I dikenakan Rp5.000/m² per bulan, sedangkan di kelas III hanya Rp2.000/m².
Namun sejak diberlakukannya Perda Nomor 6 Tahun 2023, sistem tarif disederhanakan. Skemanya kini berbasis harian, misalnya:
- Kios ukuran 3x3 m²: Rp3.000 per hari.
- Kios 2,5x3 m²: Rp2.500 per hari.
- Kios 2,5x2,5 m²: Rp2.000 per hari.
- Kios di bawah ukuran 2,5x2,5 m²: Rp1.500 per hari.
- Pelataran/lapak ikan dan sayur: Rp1.000 per hari.
Jika dikalkulasi, tarif harian ini memang terlihat lebih besar dibanding aturan lama. Namun, sistem baru dinilai lebih transparan dan sejalan dengan kebutuhan pemeliharaan pasar. Namun sayangnya, sebagian pedagang menilainya “mahal” karena melihat akumulasi bulanan tanpa memperhitungkan manfaat balik yang mereka terima.
Asrudin menekankan bahwa retribusi bukan semata-mata kewajiban, melainkan wujud gotong royong. Dana retribusi digunakan untuk menjaga pasar tetap bersih, teratur, dan nyaman. Pemerintah juga berkomitmen menindak praktik sewa kios ilegal yang justru merugikan pedagang lain.
“Kios bukan untuk disewakan. Kalau tidak digunakan, lebih baik diberikan kepada pedagang lain yang benar-benar membutuhkan. Pemerintah hanya mengakui pembayaran retribusi resmi, bukan sewa pribadi,” tegasnya.
Asruddin menegaskan, Pasar Kaloko dibangun dengan uang rakyat, sehingga sudah sepatutnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Olehnya itu, ia mengimbau setiap pedagang untuk ikut menjaga keberadaannya. Caranya sederhananya yakni dengan membayar retribusi sesuai aturan, memanfaatkan keringanan jika diperlukan, dan tidak menyalahgunakan kios.
Dengan langkah kecil itu, menurut dia, pasar bisa benar-benar menjadi pusat ekonomi masyarakat, bukan ajang mencari keuntungan pribadi segelintir orang.
“Ke depan, kita ingin Pasar Kaloko tetap terus hidup, menjadi tempat masyarakat menggantungkan ekonomi dan menjadi ruang bersama yang adil untuk semua pedagang,” tutup Asrudin. (Adm)