SURUMBA.com - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Pelnus Pasarwajo, Cabang Baubau, menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Bupati Buton, Takawa, Senin (14 Oktober 2024). Mereka menuntut kejelasan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang hingga kini belum dibayarkan.
Menurut HMI, TPP ASN seharusnya sudah dibayarkan karena telah dianggarkan dalam APBD Buton 2024, kemudian sudah terinput dalam DPA masing-masing OPD dan disahkan pembayarannya melalui Peraturan Bupati Buton Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pemberian TPP di Lingkup Pemkab Buton.
"Jika Perbup sudah ada, berarti pemerintah sudah berkewajiban membayarkan TPP ASN. Tapi kenyataannya sekarang kenapa hak ASN justru diabaikan," tegas Arwan Pando, salah satu peserta aksi.
Anggaran Barang dan Jasa Terserap Rendah, Kenapa TPP yang Disikat?
HMI juga menyoroti ketimpangan dalam pemangkasan anggaran. Berdasarkan data Portal APBD Kemenkeu, hingga Oktober 2024, Belanja Barang dan Jasa Pemkab Buton baru terealisasi 42,28 persen atau Rp76,15 miliar dari total Rp180,12 miliar yang dianggarkan dalam APBD. Ini menandahkan bahwa, rata-rata kebutuhan Barang dan Jasa jika dihitung selama tiga triwulan atau selama 9 bulan terakhir hanya Rp8,46 miliar per bulan.
Jika dihitung dengan kebutuhan Pemkab Buton atas Belanja Barang dan Jasa selama tiga bulan ke depan atau hingga tutup tahun tinggal Rp25,38 miliar. Ini berarti, masih ada sisa Rp78,59 miliar yang bisa digunakan untuk menutupi krisis anggaran. Namun ironisnya, TPP ASN yang dipangkas habis.
Lebih parahnya lagi, alasan Pemkab Buton memangkas habis TPP ASN adalah untuk menutupi belanja wajib yang bersifat mandatory spending. Namun yang terjadi malah makin tidak mandatory. Belanja pegawai justru makin meningkat karena sudah melampaui batas mandatory maksimal 30 persen.
Begitupula dengan Belanja Modal yang harusnya ditambah supaya mencapai batas mandatory minimal 40 persen dari APBD, namun justru direfocusing sebesar Rp8 miliar lebih.
Pemkab Buton: TPP Tidak Wajib, Sesuai Kemampuan Daerah
Plt Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Buton, Siti Raimuna, mencoba membela keputusan ini. Menurutnya, pembayaran TPP disesuaikan dengan kemampuan anggaran daerah. Meski sudah dianggarkan dalam APBD 2024, Pemkab terpaksa mengalihkan dana TPP ke pos lain untuk menutupi kekurangan belanja yang sifatnya mandatory seperti kekurangan Alokasi Dana Desa (ADD) dan gaji pegawai.
“Berdasarakan Peraturan Presiden, TPP itu sifatnya disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Makanya kita harus fokus pada belanja yang sifatnya mandatory," ujar Siti.
Dia menambahkan, terkait Belanja Barang dan Jasa yang tidak dipangkas lebih besar, Siti beralasan bahwa masih banyak realisasi belanja yang belum dimasukkan ke dalam Portal APBD Kemenkeu.
Katanya, data realisasi di Portal APBD Kemenkeu tersebut sebenarnya hanya untuk dua triwulan pertama, yaitu Januari - Juni 2024. Realisasi untuk penggunaan anggaran tiga bulan terakhir belum diinput.
Mengenai tambahan belanja pegawai yang justru makin tidak mandatory, Siti menjelaskan bahwa itu disesuaikan dengan jumlah pegawai. Pihaknya terpaksa harus melanggar ketentuan mandatory karena hak ASN atas gaji tidak bisa diabaikan meski sudah mencapai 37 persen dari APBD.
Masih Ada Sisa Belanja Barang dan Jasa yang Bisa Diambil
Jika klaim Siti benar, bahwa realisasi belanja barang dan jasa hanya untuk enam bulan pertama, maka kebutuhan belanja barang dan jasa Pemkab Buton mencapai Rp12,69 miliar per bulan atau sekitar Rp152,28 miliar dalam setahun. Ini menunjukkan bahwa masih ada sisa anggaran Rp27,84 miliar yang bisa digunakan untuk menutupi krisis APBD. Namun, Pemkab Buton hanya memangkas sekitar Rp700 juta atau 0,39 persen dari pos Belanja Barang dan Jasa.