DFW Indonesia Gelar Sosialisasi Sertifikasi Produk Perikanan di Holimombo Jaya

DFW Indonesia menggelar sosialisasi sertifikasi produk perikanan di Desa Holimombo Jaya, Kamis (3 Agustus 2023).

SURUMBA.com - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama Dinas Perikanan Kabupaten Buton dan Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu (SKIPM) Kota Baubau melakukan sosialisasi Sertifikasi Produk Perikanan di Desa Holimombo Jaya, Kecamatan Pasarwajo, Kamis (3 Agustus 2023). 

Salah satu tujuan sosialisasi ini adalah untuk meningkatkan mutu dan kualitas ikan olahan nelayan tuna dan Unit Pengelola Perikanan (UPI) yang berada di Desa Holimbo Jaya, Pasarwajo, dan Desa Bajo Bahari, Kecamatan Wabula. 

DFW dalam sosialisasi ini menyasar beberapa UPI yang berada di dua desa supaya mereka dapat mengetahui informasi dan jalur untuk mendapatkan Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB). 

Sosialisasi Sertifikasi Produk Perikanan  dibuka oleh mewakili Camat Pasarwajo, Kepala Seksi Pemerintahan, Rahim K. 

Rahim K dalam sambutannya menyampaikan, Kecamatan Pasarwajo dan Kecamatan Wabula memiliki potensi besar terkait tuna dan cakalang. Olehnya, kapasitas tempat pengolahannya harus ditingkatkan supaya hasil loin tuna dapat dikirim secara mandiri tanpa lewat lagi perantara. 

"Potensi ikan tuna di Pasarwajo dan Wabula sangat banyak dan selama ini penjualannya lewat pengumpul ikan yang ada di Holimombo Jaya, dan ke depannya nelayan dapat mengolah sendiri ikannya dengan kualitas yang baik dan harapannya harga ikan olahannya dapat  meningkat. Hal ini tentunya perlu dukungan dari seluruh pihak baik dari pemerintah daerah, NGO, pengusaha, dan nelayan tunannya sendiri agar dapat bersama sama meningkatkan kapasitas dan kemampuan para nelayan dan pegelolah Unit Pengolahan Ikan (UPI)," ucap Rahim K. 

Sementara itu, Koordinator Projek Wabula Fase II DFW Indonesia, Wa Ode Halfiani mengatakan, mimpi besar pihaknya melalui program ini adalah bagaimana menjadikan Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang ada di Desa Holimombo Jaya dan Desa Bajo Bahari dapat mengirim langsung (ekspor) hasil loin tunannya tanpa perantara dari pengumpul ikan tuna sehingga harga menjadi stabil dan tidak lagi dipermainkan. 

Tantangan dan Peluang

Dikatakan, para pelaku usaha baik dari nelayan tuna maupun UPI tuna mempunyai peluang yang sangat terbuka untuk mengolah dan megirim produk loin tuna mereka hingga tahap ekspor. Hanya saja,  mereka terbentur dengan beberapa persyaratan teknis seperti sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB), Sertifikat Kelayakan Produk, HACCP, dan lain-lain. 

Sejumlah persyaratan tersebut penting dimiliki supaya produk yang dihasilkan supplier atau UPI aman dikonsumsi dan terhindar dari bahaya kontaminan baik secara fisik, kimia dan biologi.

Jika ikan olahan dari UPI skala kecil bisa  dikirim langsung ke Kendari, Makassar, bahkan tembus pasar Asia, maka pelaku usaha akan dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka dan dengan leluasa membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.    

Senada dengan Wa Ode Halfiani, Kepala  Bidang Fasilitasi Perizinan dan Pengelolaan PPI Dinas Perikanan Kabupaten Buton, La Ila SPi MSi, menuturkan bahwa mendorong pelaku usaha seperti UPI untuk menembus pasar ekspor bukan hal mustahil. Hanya saja, pelaku usaha perlu meningkatkan kopetensi dan memenuhi persyaratan dan aturan standar yang telah ditentukan seperti Sertifikasi CPIB dan lainnya. 

Dikatakan, Pemerintah Kabupaten Buton melalui Dinas Perikanan pada tahun lalu telah berhasil menfasilitasi UPI Satina milik La Bodi berupa renovasi bangunan dan beberapa dukungan peralatan pengolahan ikan sesuai standar pengolahan. Harapannya agar pegelola UPI itu dapat mengelola ikan tuna yang masuk dengan baik sesuai standar yang telah ditentukan.

Pemilik UPI Satina, La Bodi, mengaku telah  mengantongi Sertifikat CPIB (cara penanganan ikan yang baik). Namun untuk mengirim hasil loin tunanya ke luar daerah, dia masih terkendala dalam pengurusan Sertifikat Kelayakan Prodak (SKP). 

Olehnya, untuk sementara, La Bodi selama ini hanya dapat mengirim hasil loin tunanya ke supplier yang berada di Kota Baubau, sambil berusaha untuk memiliki SKP. 

“Tahun lalu saya sudah mendapatkan bantuan rehap gedung dan fasilitas pengolahan tuna di perusahaan saya. Sudah ada sertifikat CPIB yang saya pegang tetapi saya lagi terkendala di pengurusan sertifikat kelayakan produk (SKP)," kata La Bodi saat ditemui di tempat pengolahan tunanya. 

UPI yang ada di Desa Holimomo Jaya dan Desa Bajo Bahari mempunyai peluang cukup besar untuk mengirim hasil loin ikan tunanya ke tahap ekspor. Sebab nelayan di dua desa ini memiliki kemampuan untuk menangkap tuna. Sehingga, tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan, pelaku usaha UPI skala kecil yang berada di Holimombo Jaya dan Bajo Bahari bisa langsung mengirim produk olahan loin ikan tunannya ke pasar-pasar domestik bahkan ke tingkat nasional, dan internasional. 

Pihak Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kota Bau-Bau, Supriadi, dalam pemaparan materinya mengatakan pelaku usaha UPI yang ada di Holimombo Jaya dan Bajo Bahari sangat mempunyai peluang besar untuk dapat mengekspor produk olahannya.

"Di Kota Baubau sudah ada supplier dari Aceh yang buka cabang di Kota Baubau yang sudah mengekspor loin tunannya ke Singapura, yang bahan bakunya (tuna) berasal dari unit pengolahan ikan (UPI) skala kecil yang ada di Kabupaten Buton. Kalau dilihat, tempat pengolahan dan peralatanya sangat sederhana tetapi mereka sudah masuk ke tahap ekspor,” katanya. 

"Jika supplier tuna dari luar dengan tempat pengolahan yang sederhana saja bisa tahap ekpor, berarti unit pengolahan ikan (UPI) yang ada di Desa Holimombo Jaya dan Bajo Bahari sangat bisa untuk mengekspor loin tunannya,” imbuhnya.

Berkaca dari itu, lanjut Supriadi, dapat menjadi pemantik buat para pelaku usaha UPI untuk meningkatkan kualitas pengelolaan UPInya dan dapat meningkatkan kapasitas sumber daya pengelola dalam bentuk pengetahuan dan sertifikasi pendukung untuk mengekpor produk loin tunannya.

Sementara itu, salah seorang nelaya tuna, Soleh, mengaku bahwa bahan baku tuna saat ini sudah berkurang. Jika pada 3 atau 5 tahun lalu setiap nelayan dapat menangkap sebanyak 3-4 ekor per sekali melaut, sekarang hanya satu ekor dan bahkan terkadang tidak sama sekali mendapatkan tuna.

Permasalahan itu, menurut Soleh, sudah berlangsung sekitar 3 tahunan. "Ini kami rasakan," katanya. 

Menurut para nelayan, terjadinya kelangkaan tuna disebabkan banyaknya kapal redi (kapal pelingkar) yang menangkap ikan di rumpon-rumpon nelayan yang jaraknya tidak jauh dari bibir pantai. Hal ini membuat sumber makan ikan tuna yaitu ikan-ikan pelagis kecil yang biasa ada di rumpon menjadi semakin berkurang karena aktifitas kapal redi yang masif menangkap ikan sehingga mengakibatkan tuna yang dulunya banyak sekarang menjadi berkurang karena sumber makanan mereka sudah agak berkurang sehingga berdampak pada pendapatan nelayan tuna skala kecil. (Din)

TERKINI